Cerda (cerpen dewasa)

Benteng Terakhir!

"Jangan ada yang keluar dari musholla!" terdengar teriakan menggelegar Ustadz Rofik dari halaman depan.
"Semua harus saling membantu!" sekali lagi suaranya memberi perintah memekakkan telingaku.
"Pegang erat – erat teman yang ada di samping kalian!" perintah terakhir yang diucapkannya. Hening menyergap, seluruh gadis yang ada di musholla bergandengan tangan dengan erat. Suara itu lenyap, malam begitu senyap. Hanya senandung dzikkir kami yang terdengar begitu syahdu.
"Ukhti, ana ingin ke kamar mandi," bisik ukhti Ratna di telingaku.
Aku menatapnya dengan bingung, kamar mandi berada di luar dan agak jauh, terpisah dengan tempat wudlu', sementara pesan Ustadz Rofik?
"Bisakah ditahan sampai Ustadz masuk kembali?"
Ukhti Ratna pun menganggukkan kepalanya, "Insyaalloh!"
Masih sepi, seperti tak ada apa – apa di luar, detak jam dinding meningkahi debur jantung kami yang tak menentu. Wajah – wajah penuh keringat dingin saling tatap satu sama lain, pandangan yang menyiratkan kecemasan. Ah….
"Jangan lengah! Dzikkir kalian jangan terputus!" kembali suara Ustadz Rofik menggelegar.
"Ukhti…, aku sudah tak tahan ingin ke kamar mandi!"
Sekali lagi kupandang wajah ukhti Ratna yang berwarna hijau, agaknya ia sudah tak mampu lagi menahan panggilan alam.
"Baiklah teman – teman, biar ana yang menghantar ukhti Ratna, yang lainnya konsentrasi dengan tahlil seperti ustadz Rofik perintahkan, jangan sampai lengah!"
"Tapi ukhti Maura, bagaimana jika kalian tak kembali?"
"Alloh-lah yang memiliki kita, DIA-lah yang lebih berhak mengambil nyawa kita, daripada durjana itu, percayalah!"
Dengan mengendap – endap, kami berdua keluar lewat pintu samping. Segera saja udara dingin menyergap tulang – tulang kami, hawa dingin yang aneh! Malam pun begitu pekat. Setelah melewati tempat wudlu, kami harus menginjak tanah untuk sampai ke kamar mandi terdekat. Itu pun masih sekitar seratus meter dari musholla, wajah ukhti Ratna yang kehijauan pun semakin menggigil, aku menyeretnya untuk cepat sampai ke kamar kecil yang berada di antara rerimbunan tanaman singkong yang biasanya kami gunakan untuk bahan dasar kue – kue yang kami jual ke pasar. Tiba – tiba aku merasa rindu pada hari kemarin, sampai juga akhirnya, sebuah bangunan kecil ukuran 2x2 meter itu terlihat di depan mata.
"Segerakanlah hajatmu, Ukh! Biar aku menunggu diluar!"
Dengan segera bau amoniak pun menyengat hidungku tak berapa lama setelah ukhti Ratna masuk ke dalam. Kuamati lingkungan sekitarku, begitu pekat, bulan tak nampak, mendung begitu gelap, tapi tak hujan, hawa dingin menyelusup, aku menggigil, masih enak ukhti Ratna di kamar kecil tapi hangat, angin sepertinya hanya berkisar di arahku, menampar – nampar wajahku dengan garang. Bau menyengat itu telah hilang, namun ukhti Ratna masih jua belum keluar, agaknya ia sakit perut karena terlalu lama menahan hajatnya.
Hei, kemana suara jangkrik yang biasanya menjadi musik? Tiba – tiba langit menjadi terang, warna jingga bergulung – gulung dari arah utara musholla, sebuah bola api yang sangat besar menukik tepat arah pengimaman, tapi entah mengapa terpental, dan....
"Ukh! Cepat Ukh! Ada bahaya!" teriakku sambil menggedor – nggedor pintu kamar mandi. Tak ada sahutan! Aku semakin panik, ada apa dengan ukhti Ratna. Dengan nekad kutendang pintu kamar mandi, dan kutemui jasad ukhti Ratna telah dimakan belatung berwarna merah, dengan menahan mual aku berlari kembali menuju musholla.
Satu jeratan mengenai kakiku, aku melihat ke belakang, tak ada siapa – siapa. Dengan terus beristighfar aku tetap mencoba berlari, airmataku sudah berleleran keluar, "Siapa yang ada diluar?" terdengar teriakan Ustadz Rofik di kejauhan.
Mulutku tergerak hendak berteriak, namun tak ada suara yang keluar dari mulutku. Warna jingga yang bergulung – gulung itu turun ke arahku, mataku nanar dan nyalang, "Allohu Akbar!!!"
Pagi? Pakaianku koyak moyak, kerudungku telah terlempar entah kemana, durjana itu telah menyentuhku! Hawa pagi yang dingin terasa ngilu, sengilu hatiku, aku diam berjongkok menahan sakit yang tak terkira! Tetesan embun pagi menimpa keningku, matahari masih belum nampak, namun semburat warna jingga sudah mulai kelihatan di ufuk timur, waktunya umat muslim menunaikan sholat Subuh.
Bagaimana caranya? Terseok aku mencoba mencari kembali kerudungku, akhirnya kutemukan jua beberapa meter dekat tempatku terbangun dari pingsanku. Kupakai sekenanya, kulihat jasad ukhti Ratna masih utuh, tak ada sedikitpun belatung menempel di tubuhnya, lantas semalam? Terus kenapa aku dibiarkan hidup? Bukankah mestinya durjana itu membunuhku pula?
Kulanjutkan langkahku menuju musholla, ada banyak orang bershaff tengah menyambut panggilanNYA. Airmata haru membasahi pipiku, hatiku penuh dengan harapan, aku masih dipercaya untuk menunaikan tugasku yang belum selesai.
"Allohu Akbar!!!" teriakku memberi tanda kedatanganku. Tenagaku habis dan aku pun kembali melambung jatuh.
"Ukhti Maura..., ukhti Maura...."
Remang kulihat wajah ukhti Azizah, senyumnya terkembang saat melihatku siuman, di balik tabir kulihat bayangan Ustdaz Rofik tengah mengamatiku.
"Bagaimana ukhti? Apakah kau sudah baikan?"
"Alhamdulillah ustadz," aku tercekat dan kemudian pingsan lagi.
Suara di luar begitu gaduh, terdengar tangisan ukhti Fadilah dan Hanifah, mereka pasti tahu kalau karib kami -ukhti Ratna- telah meninggal dunia. Airmataku menetes kembali, aku masih lebih beruntung dari ukhti Ratna, tapi aib ini akan selamanya kutanggung.
"Tak ada ujian apapun yang diberikanNYA yang berada diluar jangkauan kemampuan kita. Ingat ukhti Maura, jika Alloh memberikan nafas untuk kita hingga saat ini, maka percayalah bahwa DIA masih menganggap kita mampu menunaikan tugasnya." Bijak terdengar suara Ustadz Rofik memenuhi telingaku.
Kepalaku masih terasa pening, "Sekarang yang masih berkemampuan berdiri, mari kita sholatkan jenazah ukhti Ratna dan segera kita kebumikan." Pintas Ustadz Rofik memutus semua kegaduhan yang ada.
Mereka semua bergerak ke tempat wudlu' ada beberapa yang langsung bersiap – siap berdiri, aku mencoba menggerakkan tubuhku, aku tak mampu!
"Ukhti Maura, lebih baik ukhti beristirahat untuk mengembalikan semua tenaga ukhti yang hilang," nasehat ukhti Jamilah.
"Aku ingin ikut mensholatkan ukhti Ratna...." sahutku lemah dengan berleleran airmata.
"Insyaalloh, ukhti Ratna tahu kalau ukhti Maura ingin juga menghantarnya pergi. Doakan saja agar arwahnya diterima ukh...."
Suasana semakin syahdu, aku hanya mampu mendengar, airmata ini tak jua mampu berhenti.
"Ya Alloh..., ampuni kami! Ampuni ukhti Ratna! Hancurkan durjana itu...." pintaku dalam diam.
Entah berapa lama aku tertidur, yang pasti saat aku terbangun suasana telah kembali gelap. Kulihat formasi penjagaan dari para ikhwan telah berubah. Mungkin karena kejadian kami semalam membuat mereka lebih berhati – hati. Di setiap sudut luar halaman musholla kulihat dua orang ikhwan tengah berjaga – jaga dengan terus melantunkan ayat – ayat suci Al-Qur'an.
Formasi duduk para akhwat pun berubah, mereka tak lagi duduk berbaris dan bergandengan tangan, mereka duduk melingkar sambil terus berdzikkir. Dan aku ada di tengah – tengah mereka, kenapa?
Jam berdentang dua belas kali, tengah malam! tubuhku terasa panas, mataku kembali nanar dan nyalang, kulihat struktur kayu penyusun kubah yang tepat berada di atasku itu tergetar hebat! Aku melayang ke atas, begitu ringan, teramat ringan! Dan, Bummm! Tubuhku menghantam lantai musholla kayu kami. Alloh, sakit sekali! Airmataku pun kembali bercucuran.
Berkali – kali tubuhku terangkat dan terbanting, hingga aku tak mampu menghitungnya, namun kenapa aku tak pingsan saja, atau tak mati saja sekalian? Astaghfirulloh....
Kulihat ukhti Azizah tak mampu menahan airmatanya yang beruraian sambil terus memimpin senandung dzikkir kami, sekuat tenaga aku mencoba mengeluarkan suaraku menirukan mereka, namun aku tak mampu! Hatiku sakit, ya Alloh! Sangat sakit! Gerangan apakah yang KAU ajarkan padaku?
Suara gerengan marah terdengar memekakkan telinga kami, pegangan para akhwat pun terlepas, tubuh mereka terpental, asap hitam menggulung menembus benteng terakhir kami, asap itu menyelimuti tubuhku dan membetot tubuhku pergi. Kulihat ustadz Rofik menghalang di depan pintu.
"Lepaskan dia!" bentaknya.
Sekali lagi gerengan marah itu menggelegar, Ustadz Rofik tak bergeming.
"Lepaskan dia!"
Asap yang membungkus tubuhku terasa semakin kuat mencengkeramkus, mataku semakin pekat dan tak mampu menangkap bayang yang ada di sekelilingku. "Saksikanlah wahai saudara – saudaraku, hari ini dengan izinNYA aku menikahi ukhti Maura demi menyelamatkannya." Terdengar suara Ustadz Rofik membuncahkan sesuatu yang lain di antara kepedihan dan kesakitanku.
Terasa sebuah tangan kekar membetot tanganku dan menghempaskan asap hitam yang bergulung – gulung meliputiku. Terdengar debum sesuatu menjebol dinding sayap kanan musholla. Aku kembali tertidur dalam ketaksadaranku.
"Bagaimana ustadz, sepertinya benteng terakhir kita semakin lemah, kita takkan mampu bertahan lebih dari seminggu." Suara Akhy Jamil memenuhi ruangan.
Terdengar hela nafas berat suamiku, ah....
"Kita akan bertahan hingga Alloh memberikan pertolongan, ana yakin sebentar lagi pertolongan itu tiba. Alloh takkan menyia – nyiakan kita disini."
Hening pun menyergap, rinai hujan di luar membuat suasana semakin khusyu'.
"Ukhti, sudah lebih dari seminggu kau belum mampu menggerakkan tubuhmu, sadarlah ukhti. Kau harus berjuang dari dalam, bantulah kami disini ukhti...." terdengar lirih bisikan ukhti Laila.
Aku ingat, Laila adalah gadis pujaan ustadz Rofik semasa pesantren kami masih berfungsi, namun kini malah aku-lah yang menjadi istrinya, meski dengan alasan situasi yang mendesak. Bagaimana perasaan ukhti Laila melihat lelaki yang dikasihinya menikahiku?
"Ukhti, aku ikhlas akhy Rofik menjadi suamimu, sekarang ukhti harus berjuang melawan pengaruh jahat yang bersarang dalam tubuh ukhti, kami tahu ukhti mampu! Selama ini ukhti-lah yang paling kuat dan selalu berhasil menguatkan kami. Bagunlah ukhti, kami sangat membutuhkanmu, terutama suamimu...." getar haru menyelusup.
Tetesan airmata ukhti Laila menimpa pipiku, aku memaksa tubuhku bergerak, tapi tak mampu! Apakah ini yang dinamakan 'hidup tak hendak mati tak mau'?
"Bisakah ana menjumpai ukhti Maura?" terdengar suara merdu itu membuncahkan dadaku. Suamiku ingin menjumpaiku?
Para akhwat pun menyingkir, tabir dihalangkan dari gerombolan mereka. Segera tabir yang membatasiku dengan ustadz Rofik tersibak, wajah itu begitu tampan dan teduh, aku begitu beruntung mendapatkannya sebagai suami.
"Afwan ya ukhti, ana tak mampu mengemban amanah Abi untuk menjaga ukhti dengan baik...." ada geletar sakit dalam suaranya.
Abi, dia berjanji pada Abi akan menjagaku, kenapa Abi tak pernah mengatakannya padaku? Apakah ini juga yang menyebabkan Ustadz Rofik tak pernah meminang Laila meski mereka saling menyukai?
Abi? Aku jadi mengingat Abi yang tengah pergi ke daerah lain untuk berdakwah, Umi ikut serta karena Abi sudah demikian sepuh, sehingga sangat memerlukan orang yang mampu merawatnya dengan baik.
Tangan itu menggenggam tanganku, hawa hangat menjalariku, pelan namun pasti sekujur tubuhku terasa hangat, hangat, hangat, dan....
"Allohu Akbar!!!" teriakku.
"Panas!" suaraku serak terdengar.
"Allohu Akbar!!!"
Tubuhku berkelojotan, mataku berair, uap hitam mengepul dari kepalaku. Ustadz Rofik masih menggenggam tanganku, matanya terpejam saat ia menggerakkan tangan kirinya menyentuh perutku. Tubuhku terangkat ke atas dan terbanting dengan keras.
"Allohu Akbar!!!" teriakku mencoba mengalahkan rasa sakit yang ada.
Genggaman tangannya semakin erat, tubuhnya bergetar hebat, wajahnya merona merah, keringat dingin menetes perlahan – lahan.
"La ilaha illalloh!" Pekiknya membarengi tubuhku yang terbanting untuk terakhir kalinya.
Dipaksanya aku duduk. Telapak tangan kanannya menempel di punggungku, "Ukhti Azizah, tolong bantu saya memegangi ukhti Maura."
Tabir tersibak, ukhti Azizah bergegas duduk di atas kakiku yang terselonjor kaku. "Afwan ya ukh!"
"Agak mundur sedikit." Perintah Ustadz Rofik.
Ukhti Azizah pun beringsut menjauh dan duduk tepat di pergelangan kakiku.
"Ukhti Hanifah, tolong kau ambilkan ember dan bawa kemari, cepat!"
Segera ukhti Hanifah muncul dengan ember di tangannya. "Tolong pegangi ember itu tepat di depan mulut ukhti Maura, jaga jarakmu!"
Kudengar lantunan ayat – ayat Al-Qur'an begitu merdu, satu bisikan halus mampir di telingaku,
" كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ."
Perutku bergolak, mual, naik ke atas menendang – nendang dadaku, dan akhirnya menyeruak memenuhi tenggorokanku hingga tersemburlah darah kental kehitaman, ada belatung warna merah yang kulihat di sekujur jasad ukhti Ratna di malam kematiannya, ada benda – benda tajam yang pernah kulihat keluar dari tubuh Abiku saat kena santet, dan terakhir aku melihat bola hitam kecil yang dikelilingi api berpijar dan melesat terbang meninggalkanku.
"Pegang!" teriak Ustadz Rofik sambil melompat menghadang bola api itu menjauh.
Tubuhku yang terayun jatuh ditopang tubuh seseorang yang akhirnya kuketahui adalah ukhti Laila, rasa lemas menyeruak, aku mulai mampu menggerakkan tubuhku meski lemah. Aku hidup! Hidup ya Alloh.... Alhamdulillah!
"Dengan nama Alloh yang berkuasa atas segala sesuatu, kuperintahkan kau untuk berhenti mengganggu kami!"
Bola hitam itu jatuh dan meledak, sesosok tubuh tinggi besar dengan sekujur tubuhnya dibalut sisik ular muncul dan tertawa tergelak – gelak!
"Aku sudah lama menunggu saat – saat dimana Abi Mansyur tak ada disini, aku benar – benar takut padanya, kulihat kalian tak mampu menghadapi hajaran anak buahku, aku sangat ingin menyiksa anak turun Abi Mansyur, terutama wanita yang kini kau jadikan istri itu."
"Kenapa kau menolak melepaskan Maura?"
"Tuanku mencintainya! Sebenarnya aku ingin menculiknya, tapi aku tak mampu! Disaat – saat ia sudah hampir dalam kuasaku selalu saja ada kekuatan lain yang membuatnya mampu bergerak dan melawan pengaruhku. Huh! Tapi itu takkan lama, karena sebentar lagi tempat ini akan dikepung tuanku dan anak buahnya."
"Kau siapa?"
"Orang tuaku memberiku nama kliwon!"
"Hai Kliwon! Tak takutkah kau pada Tuhanmu?"
"Hahahahahahahah!"
"Dengan nama Alloh yang tiada makhluk pun yang menyamaiNYA, enyahlah kau dari hadapanku! Dan jangan pernah kau kembali mengganggu manusia, kembalilah ke habitatmu! Saudara – saudaraku marilah bersama – sama kita bacakan ayat kursi untuk membakarnya!"
Sosok jelek itu mencoba terbang, tapi kulihat akhy Haris telah terlebih dahulu nangkring di atas tiang penyangga utama. Diringi suara lantunan ayat – ayatnya sosok tubuh jelek itu pun menguap menjadi asap. Entah kemana dia pergi?
Pintu utama musholla terbuka karena didorong dari luar, "Abi datang! Abi datang! Abi datang!" teriak lelaki yang pada akhirnya kuketahui bernama Fariduddin menumbuhkan semangat kami lagi.
Tubuh yang sangat lelah itu terjungkal, sigap Akhy Jamil mengambilkan air putih untuk melegakan rasa hausnya. Dengan nafas yang masih tersengal – sengal dia melanjutkan laporannya. "Ana lihat iring – iringan mobil Abi dan beberapa mobil aparat telah memasuki gerbang perkampungan ini. Syukurnya, tak ada masyarakat sekitar yang disiksa, asal mereka tak membantu kita, mereka baik – baik saja..... Hhh, tadi ana juga ketemu dengan Pak Sukri, dia minta maaf karena tak berani membantu kita, takut diancam oleh Sudra dan antek – anteknya."
"Istirahatlah dulu, informasi itu sangat berarti untuk kami.... Jazakalloh akhy!"
Geletar syahdu suara itu memenuhi dadaku, aku merasai nyeri menikam ulu hatiku, harap yang tersisa di benteng terakhir kami sejak sebulan terakhir, pada akhirnya DIA memberikan pertolongan pada kami.
"Segera setelah Abi datang, kita akan memperbaharui pernikahan kita ukh," terdengar lamat – lamat suara Ustadz Rofik. Mataku pelan – pelan terpejam, darah muncrat dari mulutku, sesuatu menjebol perutku, dan....
"La... ilaha... illalloh.... muhammadar.... rosululloh...."
Aku tak pernah tahu Abi datang bersama Umi hanya untuk menghantarkanku pergi.


(Blue Village on March, 21th 2006)