Sabtu, 07 April 2012

Cerpen Anak Pertamaku yang tembus media tahun 2005


Mata Pena

Hari ini Rusdi datang dengan menenteng kotak pena baru, dengan bangga dia memamerkan kotak pena itu pada teman – temannya. Semua temannya sangat menyukai benda yang berada didalamnya. Kotak pena itu terasa istimewa karena hanya berisi sebuah pena saja. Pena yang sangat bagus, berwarna biru metalik dengan pelet keemasan, semuanya merasa sangat suka.
Ada Dania yang cerewet, Dodi yang suka sekali ngisengin teman, Danu yang baik hati, Lastri yang suka sekali membawa bekal mi buat makan siang di sekolah, bahkan Livia yang tak pernah perduli dengan apapun yang terjadi di sekelilingnya ikut berebut melihat kotak pena Rusdi.
"Bagus sekali kotak penamu Rus?" ucap Dania.
"Jelas dong! Punya Rusdi!"
"Dapat hadiah ya?" kata Danu menimpali.
"Iya! Kemarin Papaku datang dari Australi, nah aku dibawa-in oleh – oleh ini, coba kalian lihat dengan seksama, lihat!" ujar Rusdi sambil menunjuk ke arah batang pena yang berwarna biru.
Semua mata melihatnya dengan penasaran, Rusdi mengambilnya dan menggerak – gerakkan secara memutar, semua mata itu masih mencari – cari keistimewaan yang diceritakan oleh Rusdi.
"Apanya yang istimewa?" seru Livia.
"Wah, kalian tidak lihat ya? Ada gambar kanggurunya yang kelihatan hanya jika tertimpa cahaya."
"Wow!" semua mulut terbuka menyerukan keheranannya.
Rusdi semakin senang melihat ketakjuban teman – temannya pada pena barunya. "Bolehkah kami melihatnya dari dekat?" tanya Lastri.
Maka Rusdi pun dengan bangga mendekatkan pena itu ke pandangan teman – temannya sembari terus memutar – mutarnya, agar gambar kangguru itu terlihat pula oleh mereka.
"Woooooo..... benar! Pena-mu benar – benar bagus dech Rus!" seru Livia dipenuhi rasa takjub.
Rusdi tertawa senang, "Terimakasih Livia!" serunya.
Selesai memuji keindahan pena Rusdi, Livia pun duduk kembali di bangkunya, ia pun mulai membayangkan kalau saja papanya akan berdinas ke Australia juga, maka ia akan memesan pena beserta kotaknya yang cantik seperti punya Rusdi. Hanya saja ia akan memilih warna favoritnya, merah muda!
"Rusdi!"
"Ya, Livia! Ada apa?"
"Apakah ada pena seperti yang kau punya berwarna merah muda?"
"Wah, aku tidak tahu Livia, coba nanti pas aku pulang akan kutanyakan sama Papa, adakah pena seperti milikku yang berwarna merah muda."
"Terimakasih ya Rus. Aku suka sekali melihat penamu!"
"Hei, Livia! Apa kamu juga ingin punya pena seperti punya Rusdi?" teriak Dodi setelah diam – diam ikut mencuri dengar pembicaraan Livia dan Rusdi.
"Tentu saja! Jika Papa punya kesempatan untuk dinas ke Australia aku pasti akan memesan oleh – oleh seperti punya Rusdi! Gak apa – apa kan Rus?"
"Tentu saja tidak apa – apa!"
Dengan gusar Dodi meninggalkan mereka berdua.
Suasana gaduh terjadi seusai istirahat saat Rusdi mencari – cari kotak penanya yang baru, dia begitu panik tak menjumpai benda kesayangannya di dalam tas, di laci meja, dan dengan tergesa ia pun melapor kepada Guru pengasuh akan kehilangan kotak penanya.
Mendapat laporan itu, Guru piket langsung menuju kelas Rusdi, semua anak ikut panik dan ketakutan. Untunglah hari itu yang bertugas adalah Pak Fadlan Guru olahraga mereka yang baik hati.
"Baik anak – anak! Letakkan semua tas di atas meja kalian...."
Serentak semua anak meletakkan tas-nya di atas meja. "Kalian berbaris di samping tempat duduk kalian masing – masing!"
Harap – harap cemas mereka ingin segera mengetahui siapakah yang telah berbuat jahat pada Rusdi, menyembunyikan atau bahkan mencuri kotak pena Rusdi beserta penanya. Pak Fadlan berjalan dengan gagah melihat satu per satu tas anak – anak hingga sampailah ke meja Livia, lihat! Kotak pena itu ditemukan! Livia tergeragap, ia tak merasa mencurinya, apalagi menyimpan dalam tasnya.
"Tidak! Aku tidak mencurinya!" teriak Livia.
"Tetapi bagaimana mungkin kotak pena Rusdi bisa sampai ke dalam tasmu?" tanya Pak Fadlan bijaksana.
Livia sudah menangis jengkel karena merasa tak bersalah. "Rusdi, coba lihat apakah benar ini pena milikmu?"
Rusdi dengan tatapan mata bingung mendekat ke Pak Fadlan dan menyambut kotak penanya. Dilihatnya pena itu seperti habis dipakai dan lupa memencetnya sehingga mata pena itu masih menyembul keluar. Rusdi berbisik – bisik dengan Pak Fadlan, Livia sudah sesenggukan menekurkan kepalanya di atas meja. Pak Fadlan mengangguk – angguk, "Anak – anak, sekarang coba perlihatkan tangan kalian semua, biar Bapak memeriksa satu per satu."
Yang pertama mendapat giliran adalah Livi, dengan lemas Livia mengangkat tangannya, Pak Fadlan terus berjalan hingga sampai di meja Dodi, dengan senyum – senyum nakal setengah mengejek dia memperlihatkan tangannya.
"Tanganmu penuh coretan pena ya?"
Dodi terkejut sekali mendengar pertanyaan Rusdi. Dilihatnya tangan yang lupa dibersihkan, tertunduklah dia karena merasa malu dan ketahuan. "Kamu tau kalau mata penanya lupa kau masukkan lagi, jadi aku bisa bayangkan kalau penaku habis dipakai, dan yang memakainya adalah pencuri itu!"
"Maafkan aku...."
"Dodi, kau tak boleh memfitnah Livia, kau juga harus meminta maaf padanya. Untung, Rusdi cerdas sehingga kita bisa segera membersihkan nama Livia. Na, sekarang hukuman buat Dodi adalah mengepel kelas setiap pulang sekolah selama satu minggu J."
Semua anak tertawa senang, Dodi diam terpekur menekuri kesalahannya. Livia kembali tersenyum, dan Rusdi merasa senang karena sudah berhasil memberi pelajaran pada Dodi.