Rabu, 29 Agustus 2012

Curhatan Nasuha ^_^


Ketika Alloh “menegur”-ku

Selasa, 28 Agustus 2012

Hari ini tak ada yang istimewa, seperti hari-hari biasa yang kulewati dengan segala ragam kesenangan dan “tekanan” yang biasa pula kurasakan.
Pagi setelah membersihkan sekolah di tempatku mengabdikan diri, pulang ke rumah berkutat dengan setumpuk pekerjaan rumah tangga, dan di tengah hari bersiap dengan perjalanan untuk “takziyah” di daerah Beji – Batu.
Kami pun meluncur bersama kedua saudara perempuanku dan Mamaku, bertakziyah sebentar dan aku pun memilih melanjutkan sendiri karena akan ada acara bersama keluarga suami ba’dha Maghrib, menuju alun-alun kota Malang.
Turun dari LDG, aku bersiap memasuki masjid Jami’ kota Malang, meniatkan hati untuk sholat Ashar. Kugandeng tangan si kecil dengan penuh pengharapan bahwa kelak ia akan mencintai masjid dan akan menjadi satu dari sekian hambaNYA yang memakmurkan masjid, amin Insyaalloh….
Tidak satu atau dua kali, berkali-kali kami sholat di masjid itu dan tak terjadi apa-apa, namun hari itu….
Anakku mulai menunjukkan gejala akan pipis, kutarik ke belakang ternyata kata pengunjung lain toilet pindah ke dekat ruang wudlu, kuseret anakku dengan cepat sambil memberikan motivasi, “sabar, tahan! Sedikit lagi….”
Dan….
Jebollah pertahanan anakku hingga dia pipis di celana, aku kaget dan tercenung sejenak, dia “ngompol” di dekat kotak untuk membasuh kaki di garis luar yang dekat tempat peminjaman mukena.
Dengan sigap aku berlari ke pengurus masjid yang menjaga mukena dan berkata, “Ma’af, anak saya pipis di dekat kullah, apa yang harus saya lakukan untuk membersihkannya?”
Panik! Itu yang saya rasakan….
Di saat panik itu saya dengar satu suara ibu-ibu penjaga kamar mandi, “Bu, anaknya ngompol di masjid, najis! Bikin najis semesjid dan blab la bla bla….”
Sampai saya dengar ‘adzab Alloh dibawa-bawa. Maka saya pun meledak! Saya menangis di depan orang se-mesjid, dan masih ditambah lagi,“Nguras iku seng soro, makanya kalau punya anak kecil dijaga, jangan sampai ngompol di masjid!”
Saat itu saya marah, saya pandang orang itu, saya yang tak pernah suka bertengkar akhirnya menyahut, “Saya akan tanggung jawab membersihkannya, dia anak saya, marahi saya saja! Nggak usah adzab Alloh dibawa-bawa!”
Namun ada suara baik menolong saya, “Bu, saya bantu…. Anaknya diurus dulu. Dilepas celananya masukin kresek dan dicebokin.”
Saya bawa si kecil masuk ke tempat wudlu, saya lepas celananya sambil terus menangis (entah apa yang saya rasakan saat itu….). Saya cebokin dan berpesan, “Kamu diam disini sampai bunda kembali….”
Entah teguran apa yang dilewatkan Alloh melalui mulutnya, wanita itu terus menceracau di ruang wudlu.
“Demi Alloh, saya kesini berniat sholat. Dan tak ada kesengajaan anak saya buat pipis sembarangan.”
Saya pun kembali ke kullah tempat si kecil tak sengaja ngompol. Seorang ibu yang baik telah membantu saya menyiram bekas pipis si kecil, saya bilang “Maaf Bu, dia anak saya biar saya bertanggung jawab.”
Akhirnya si Ibu yang baik memberikan selang air dan sikat pada saya. Saya pun bekerja dengan deraian air mata, …. Adzab Alloh? Apa hubungannya dengan si kecil pipis (tanpa sengaja) sama adzab Alloh? Telinga saya panas, begitu juga dengan hati saya. Ibu yang menegur dengan cara “tak ramah” (semoga Alloh mengampuni kita, menjernihkan hatiku yang panas karena dipantik kata-katanya)
Seorang Bapak pengurus masjid jami’ agung kota Malang datang dan bertanya, “Ada apa?”
Saya yang sedang panas hati menjawab, “Anak saya pipis tanpa sengaja dan saya akan bertanggungjawab membersihkannya, cukup ajari saya gimana membersihkan kullah ini.”
Mungkin karena hawa “panas” yang saya bawa, bapak itu pun menjawab, “Bu, ini rumah Alloh jangan marah-marah disini! Ibu ini dibantu kok malah marah-marah?”
“Caranya menegur yang saya tidak terima!” tukas saya cepat.
Setelah selesai dengan menyiram bekas pipis si kecil dan menguras kullah dengan perasaan tak karuan, akhirnya Bapak pengurus masjid itu berkata, “Sudah Bu, ditinggal aja biar kami yang menyelesaikan.”
Dengan perasaan malu tak karuan saya kembali pada si kecil, ada keinginan memarahinya, namun saya takut itu akan mengecilkan hatinya dan membuatnya “trauma” masuk masjid. Bagaimana mungkin seorang muslim trauma masuk masjid karena kejadian “sepele” seperti itu? Ya, taruh kata bukan sepele, bukankah ada cara yang lebih baik untuk mengingatkan saya sebagai ibunya?
Akhirnya setelah bicara panjang lebar dengan si kecil, si kecil saya pakaikan jaket saya yang kebesaran untuknya sambil berusaha menenangkannya. Beruntung dia tidak menangis kencang karena akan menambah kepanikan saya. Sesekali dia menatap saya dengan pandangan “memelas” yang menghancurkan hati saya sebagai bundanya.
“Malu….” Dia terdiam sebentar dan kembali berkata, “malu….”
“Kakak anaknya Bunda, apa pun itu Kakak anaknya Bunda. Ayo sekarang kita pergi dari sini dan tunggu ayah jemput kita di alun-alun.
Dengan tanpa celana si kecil saya gendong keluar dari ruang wudlu (alhamdulillahnya auratnya tertutup karena memakai jaket saya yang gedombrongan). Saya harus menjauhkannya dari pandangan orang lain yang akan menghancurkan konsep dirinya. Saya keluarkan uang, “Saya ganti rugi jika saya dianggap merugikan, saya minta maaf Pak! Mungkin hari ini saya tak boleh sholat disini.”
“Disini rumah Alloh, jangan marah-marah, Bu!”
“Saya tahu, yang saya tidak terima cara menegur saya, tidaklah perlu sampai adzab Alloh dibawa-bawa.”
Saya pun pergi, ibu itu (siapa pun nama Anda), apa tak pernah punya anak kecil? Tapi terimakasih telah membantu saya menangis dan kembali berkaca tentang “kedirian” kita sebagai hamba.
Bandingkan dengan ini….
Di toko buku, saya pernah melihat seorang anak mengompol, ibunya membersihkan bekas ompol si anak dan penjaga toko tanpa banyak bicara melanjutkan dengan mengepel lantainya.
Di sekolah, ketika seorang anak menangis malu karena mengompol seorang guru menenangkannya dengan kasih sayang, membantunya membersihkan diri dan memberikannya pakaian ganti.
Di masjid? Tak seorang pun membantu anak saya ketika harus berdiri sendiri di ruang wudlu (bahkan saya khawatir ibu itu pun masih menceracau di depan si kecil), apakah kita sudah muslim Bu?
Di alun-alun….
“Kenapa bisa kakak pipis di celana?”
Si kecil hanya menjawab patah-patah, “Malu…. Malu….”
Hatiku semakin hancur melihatnya. Sekuat mungkin kutahan aku tak boleh marah, ini pengalaman pertama kami mengalami hal ini.
“Bunda nangis?”
“Bunda sedih, malu karena tak bisa mengurus kakak dengan baik….”
“Aku malu….”
“Kalau malu kenapa tak bisa (ngempet) menahan?”
“Aku sudah gak kuat….”
Maka tanpa mampu kubendung, maka menangislah sepuas-puasnya tanpa memperdulikan pandangan orang yang lalu lalang.
Maka hikmah itu….
Tak ada seorang pun yang menyiapkan diri untuk sebuah “teguran”, maka setelah semalaman “menangis” sambil mengaca diri, maka saya putuskan menulis kisah ini dan berbagi disini agar pengalaman saya ini bisa jadi “pelajaran” buat semuanya.
Untuk saya, semoga saya lebih berhati-hati menjaga si kecil dalam masa perkembangannya.
Untuk teman-teman lain juga.
Untuk pengurus masjid semoga bisa menegur “pelaku” (anggap saja begitu) dengan lebih sopan dan beradab. Semoga Alloh memberikan ampunan buat saya (jika belum layak menyematkan predikat sebagai Bunda), buat siapapun yang membaca ini semoga kita termasuk hamba yang senantiasa mengambil hikmah positif dibalik setiap kejadian.
See u at the other story, Insyaalloh J









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya