Mata Pena
Hari ini Rusdi datang dengan menenteng kotak pena baru, dengan bangga dia
memamerkan kotak pena itu pada teman – temannya. Semua temannya sangat menyukai
benda yang berada didalamnya. Kotak pena itu terasa istimewa karena hanya
berisi sebuah pena saja. Pena yang sangat bagus, berwarna biru metalik dengan
pelet keemasan, semuanya merasa sangat suka.
Ada Dania yang cerewet, Dodi yang suka sekali ngisengin teman, Danu yang
baik hati, Lastri yang suka sekali membawa bekal mi buat makan siang di sekolah,
bahkan Livia yang tak pernah perduli dengan apapun yang terjadi di
sekelilingnya ikut berebut melihat kotak pena Rusdi.
"Bagus sekali kotak penamu Rus?" ucap Dania.
"Jelas dong! Punya Rusdi!"
"Dapat hadiah ya?" kata Danu menimpali.
"Iya! Kemarin Papaku datang dari Australi, nah aku dibawa-in oleh –
oleh ini, coba kalian lihat dengan seksama, lihat!" ujar Rusdi sambil
menunjuk ke arah batang pena yang berwarna biru.
Semua mata melihatnya dengan penasaran, Rusdi mengambilnya dan menggerak –
gerakkan secara memutar, semua mata itu masih mencari – cari keistimewaan yang
diceritakan oleh Rusdi.
"Apanya yang istimewa?" seru Livia.
"Wah, kalian tidak lihat ya? Ada gambar kanggurunya yang kelihatan
hanya jika tertimpa cahaya."
"Wow!" semua mulut terbuka menyerukan keheranannya.
Rusdi semakin senang melihat ketakjuban teman – temannya pada pena barunya.
"Bolehkah kami melihatnya dari dekat?" tanya Lastri.
Maka Rusdi pun dengan bangga mendekatkan pena itu ke pandangan teman –
temannya sembari terus memutar – mutarnya, agar gambar kangguru itu terlihat
pula oleh mereka.
"Woooooo..... benar! Pena-mu benar – benar bagus dech Rus!" seru
Livia dipenuhi rasa takjub.
Rusdi tertawa senang, "Terimakasih Livia!" serunya.
Selesai memuji keindahan pena Rusdi, Livia pun duduk kembali di bangkunya,
ia pun mulai membayangkan kalau saja papanya akan berdinas ke Australia juga,
maka ia akan memesan pena beserta kotaknya yang cantik seperti punya Rusdi.
Hanya saja ia akan memilih warna favoritnya, merah muda!
"Rusdi!"
"Ya, Livia! Ada apa?"
"Apakah ada pena seperti yang kau punya berwarna merah muda?"
"Wah, aku tidak tahu Livia, coba nanti pas aku pulang akan kutanyakan
sama Papa, adakah pena seperti milikku yang berwarna merah muda."
"Terimakasih ya Rus. Aku suka sekali melihat penamu!"
"Hei, Livia! Apa kamu juga ingin punya pena seperti punya Rusdi?"
teriak Dodi setelah diam – diam ikut mencuri dengar pembicaraan Livia dan
Rusdi.
"Tentu saja! Jika Papa punya kesempatan untuk dinas ke Australia aku
pasti akan memesan oleh – oleh seperti punya Rusdi! Gak apa – apa kan Rus?"
"Tentu saja tidak apa – apa!"
Dengan gusar Dodi meninggalkan mereka berdua.
Suasana gaduh terjadi seusai istirahat saat Rusdi mencari – cari kotak penanya
yang baru, dia begitu panik tak menjumpai benda kesayangannya di dalam tas, di
laci meja, dan dengan tergesa ia pun melapor kepada Guru pengasuh akan
kehilangan kotak penanya.
Mendapat laporan itu, Guru piket langsung menuju kelas Rusdi, semua anak
ikut panik dan ketakutan. Untunglah hari itu yang bertugas adalah Pak Fadlan
Guru olahraga mereka yang baik hati.
"Baik anak – anak! Letakkan semua tas di atas meja kalian...."
Serentak semua anak meletakkan tas-nya di atas meja. "Kalian berbaris
di samping tempat duduk kalian masing – masing!"
Harap – harap cemas mereka ingin segera mengetahui siapakah yang telah
berbuat jahat pada Rusdi, menyembunyikan atau bahkan mencuri kotak pena Rusdi
beserta penanya. Pak Fadlan berjalan dengan gagah melihat satu per satu tas
anak – anak hingga sampailah ke meja Livia, lihat! Kotak pena itu ditemukan!
Livia tergeragap, ia tak merasa mencurinya, apalagi menyimpan dalam tasnya.
"Tidak! Aku tidak mencurinya!" teriak Livia.
"Tetapi bagaimana mungkin kotak pena Rusdi bisa sampai ke dalam
tasmu?" tanya Pak Fadlan bijaksana.
Livia sudah menangis jengkel karena merasa tak bersalah. "Rusdi, coba
lihat apakah benar ini pena milikmu?"
Rusdi dengan tatapan mata bingung mendekat ke Pak Fadlan dan menyambut
kotak penanya. Dilihatnya pena itu seperti habis dipakai dan lupa memencetnya
sehingga mata pena itu masih menyembul keluar. Rusdi berbisik – bisik dengan
Pak Fadlan, Livia sudah sesenggukan menekurkan kepalanya di atas meja. Pak
Fadlan mengangguk – angguk, "Anak – anak, sekarang coba perlihatkan tangan
kalian semua, biar Bapak memeriksa satu per satu."
Yang pertama mendapat giliran adalah Livi, dengan lemas Livia mengangkat
tangannya, Pak Fadlan terus berjalan hingga sampai di meja Dodi, dengan senyum
– senyum nakal setengah mengejek dia memperlihatkan tangannya.
"Tanganmu penuh coretan pena ya?"
Dodi terkejut sekali mendengar pertanyaan Rusdi. Dilihatnya tangan yang
lupa dibersihkan, tertunduklah dia karena merasa malu dan ketahuan. "Kamu
tau kalau mata penanya lupa kau masukkan lagi, jadi aku bisa bayangkan kalau
penaku habis dipakai, dan yang memakainya adalah pencuri itu!"
"Maafkan aku...."
"Dodi, kau tak boleh memfitnah Livia, kau juga harus meminta maaf
padanya. Untung, Rusdi cerdas sehingga kita bisa segera membersihkan nama
Livia. Na, sekarang hukuman buat Dodi adalah mengepel
kelas setiap pulang sekolah selama satu minggu J."
Semua
anak tertawa senang, Dodi diam terpekur menekuri kesalahannya. Livia kembali
tersenyum, dan Rusdi merasa senang karena sudah berhasil memberi pelajaran pada
Dodi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya