Rumah Kami, Rumah Surga
Pagi kembali bergegas, berkejaran
dengan waktu, kusiapkan buah hatiku untuk ikut ‘sekolah’ bersamaku, menu
sarapan hanya nasi putih dan ceplok telur menghias meja, aku mondar mandir
mempersiapkan keperluan buah hatiku agar harinya cerah dan dia bisa sibuk dengan
aktivitasnya selama aku melakukan tugasku sebagai ‘guru’ J.
Semua telah siap, kami pun berangkat, wajah anakku begitu riang
mengingat ia akan berjumpa dengan teman sebayanya di sekolah.
“Bunda, bagi Adi….” Ucapnya
dengan cedal. Maklumlah anakku masih berusia 26 bulan J. Adi itu panggilan anakku
untuk anak temanku yang bernama Adly. Aku mengangguk dan menuntunnya ke halaman
depan rumah menunggu ayah mengeluarkan motor dari dalam garasi.
Ayah bergegas mengantar kami
menuju tempatku mengabdikan diri di sebuah RA di desa tempatku dibesarkan.
Sepanjang jalan anakku pasti akan berceloteh tentang apa saja yang menarik
perhatiannya.
“Nda, Anis!” tunjuknya saat
melihat sesosok tubuh juga tengah bergegas ke arah barat, kami pun berpapasan.
“Assalamu’alaikum Bik Anis,”
sapaku.
“Sa…kum Anis!” teriak anakku dengan ceria.
“Wa’alaikumsalam…. Hai Zakki!”
balasnya menyapa anakku sambil melambaikan tangan.
“Duluan ya….” Pamitku saat motor
kami melewatinya.
Senyumnya mengiringi kepergian
kami, aku jadi merasa malu sendiri….
Seringnya aku meremehkan motor
butut suamiku (padahal kendaraan itulah yang kami punyai untuk memudahkan
mobilitas kami dalam segala urusan), melihatnya berjalan kaki menuju tempatnya
mengais rizki-MU membuatku haru….
“Bunda…, napa?” Tanya Zakki.
“Bunda malu sama Alloh J” jawabku.
“Napa… napa….” Tanyanya mencari
penegasan.
“Semoga kita mampu menjadi
hamba-NYA yang senantiasa bersyukur, Nak….” Bisikku di telinganya sambil
mendekapnya.
*****
Aku mengenalnya sejak aku kelas 1
SMA, kala itu dia diantarkan Ibunya untuk dititipkan di keluargaku. Lahir di keluarga petani yang -menurut orang-
miskin membuatnya menjadi seorang pekerja keras yang pantang menyerah. Aku
sering mengamatinya, apa yang membuat dia senantiasa bersemangat menjalankan
roda kehidupannya.
“Aduh Mbah, sakit semua….”
Rintihnya saat mamaku mengoleskan krim luka bakar di punggungnya, tubuhnya
penuh dengan bekas luka cambukan.
“Bapakmu kok tega banget sih!”
tanyaku.
“Aku tidak mau dikawinkan Mbak,
Bapak marah karena keinginannya kutolak, akhirnya Bapak memukulku dengan cambuk
sapi – sapinya…. Ssshhh…. Sshhhh….” Terangnya sambil berusaha menahan agar rasa
sakitnya tak berubah menjadi keluhan.
“Dewi, sudah! Nanti saja
dilanjutkan obrolannya biar Anis istirahat dulu.” Cegah mama saat melihat mulutku
hendak kembali terbuka.
Cambuk sapi telah melecutnya menjadi ‘seseorang’ yang tak
suka berkeluh kesah. Masih ada banyak hal diluar sana yang masih perlu untuk
dikerjakan daripada sekedar ‘mengeluh’ karena ketidakmampuan kita akan sesuatu
hal.
*****
Tanpa terasa, tiga tahun sudah
Anis ikut di keluargaku, dia tumbuh menjadi wanita yang sangat rajin bekerja,
terampil dalam kerjaan rumah tangga, dan juga pandai memasak dan membuat kue J, terima kasih buat
mamaku tercinta yang selalu menularkan ilmunya pada kami anak – anaknya.
Di tahun ke-4, Ibunya datang
dengan membawa kabar bahwa Anis sudah ‘diminta’ sama orang, dan orangtuanya
meng-‘iya’-kan tanpa meminta persetujuan darinya, benar – benar kolot!
Hebatnya, sebagai anak Anis tidak membantah, dalam waktu 10 hari setelah
‘permintaan’ itu maka pernikahan pun dilaksanakan. Anis pun menikah dan
diboyong ke rumah suaminya, rasanya kehilangan sekali sebab lewat Anis aku
belajar banyak hal tentang kehidupan yang ‘keras’ diluar sana. Tentang masa
kecilnya, tentang masa remajanya, dan semua hal yang mengembangkan sikap untuk
selalu ber-‘usaha’.
Anis pergi, namun aku masih
sering menjenguknya, dia kini tinggal bersama mertuanya, menempati sebuah kamar
sempit yang isinya hanya dipan dan meja. Kulihat dia tak kekurangan sesuatu
apa, namun dari wajahnya sepertinya dia ‘menahan’ sesuatu yang membuatnya
menjadi setegar batu karang.
Saat dia hamil aku sering
terkejut saat menjenguknya, dia harus menjemur jagung jika panen jagung, gabah
jika panen gabah, dan -lagi- hebatnya, dia kerjakan sendiri, saudara –
saudaranya tidak ada satu pun yang menolongnya, hingga suatu ketika aku
tercengang melihatnya berlarian kesana kemari dengan perut besarnya saat hujan
tiba – tiba turun, akhirnya aku ikut membantunya membereskan jemuran jagungnya -kala itu-, sekali lagi aku tak
mendengarnya ‘berkeluh kesah’, hanya ucapan terimakasih saja yang keluar dari
mulutnya.
Beberapa waktu berselang setelah
kelahiran anaknya, kamarnya bergeser ke belakang, sebuah tempat yang -tepatnya-
mirip kandang, dindingnya terbuat dari bambu yang sudah berlubang disana –
sini, dan gentingnya yang juga gak layak, jikalau hujan maka air akan meluncur
deras, hingga basahlah lantai tanahnya. Saat itu hanya ada tanya tanpa berusaha
kutemukan jawabannya. Sekali lagi dia tidak ‘berkeluh kesah’ J.
Kondisi Anis yang seperti itu
sering menjadi perbincangan di antara kami saudara – saudaranya. Namun sungguh
kita hanya mampu membantu semampunya dan juga membantunya dengan do’a,
bagaimana pun jika wanita telah menikah maka ia adalah hak dari suaminya.
Beberapa tahun kemudian Anis
datang ke rumah dan meminta restu mama papaku dan juga seluruh keluarga jika
dia akan ‘membuat rumah’ di tanah kosong pemberian Bapak mertuanya dengan modal
5 juta. Wow!
Dalam satu tahun rumah itu telah
berdiri, Anis dan suaminya mencetak batu bata sendiri, mengangkut batu dari
sungai dekat -calon rumahnya-, menimba pasirnya di sungai, dan Subhanalloh!
Rumahnya berdiri dengan gagah meskipun ‘proyek’ Anis ditengahi cibiran keluarga
suaminya. Anis tidak berhenti berusaha dan terus bersemangat menyelesaikan
rumahnya.
Do’a dan usahanya didengar oleh
Alloh, setelah berjuang cukup lama (1 tahun), Anis memaksa menempati rumahnya
meski pun saat itu tanpa pintu dan jendela. Sekali lagi Wow!
Mempunyai rumah sendiri
membuatnya tampak lebih damai daripada saat dia masih ikut bersama mertuanya.
Aku senang melihatnya, namun tampaknya sekali lagi dia harus berjibaku dengan
kehidupannya yang keras.
Setiap hari setelah selesai
dengan tetek bengek pekerjaan rumah tangganya, ia pergi ‘nylimbeti’ kulit kayu
di sebuah penggergajian dekat rumahnya, terkadang dibawa pulang, namun
terkadang juga dijual kembali, semester kubik 30rb, itu-lah pendapatan
hariannya.
Suaminya kadang bekerja, kadang
juga membantu ibunya, jadi praktis mereka bahu membahu untuk menjalankan roda
rumah tangga mereka. Suatu upaya yang sangat mem-’bangga’-kan kami sebagai
keluarganya.
Setelah aku menikah dan
kehamilanku sering memaksaku beristirahat total, akhirnya aku pun meminta
bantuannya untuk meringankan beban pekerjaan rumah tanggaku, mulailah kedekatan
kami kembali terjalin, dan betapa banyak pelajaran yang kudapatkan dari
selingan cerita – cerita saat dia membantuku mengerjakan tugas – tugas rumah
tangga.
*****
“Sewaktu aku masuk dalam keluarga
suamiku, aku sangat diremehkan Mbak, karena keluargaku miskin, rumahku
berdinding sesek, dan semua itu berakibat pada perlakuan beda yang kuterima.”
Ceritanya.
“Berbeda bagaimana?” tanyaku.
“Semua pekerjaan berat adalah
tugasku, tidak ada seorang pun yang mau membantu, layaknya aku ini bukan
menantu melainkan ‘babu’…, sedih Mbak jika aku mengingat itu semua.”
“Suamimu tahu?”
“Tidak pernah!”
“Kenapa?”
“Aku tak pernah menceritakan
setiap kejadian yang kualami padanya….”
“Bukannya mestinya kamu bercerita
pada suamimu?”
“Mana mungkin dia percaya! Sampai
dia lihat sendiri buktinya!”
“Masyaalloh!”
“Dia baru merasa ‘heran’ saat
kami digusur pindah ke kamar belakang dekat dapur yang berdinding sesek,
gentingnya bocor semua, namun kami saat itu masih saling diam.”
“Maksudnya?”
“Kami tak pernah memperbincangkan
kenapa semua itu terjadi L.”
“Astaghfirullohal ‘adhiiim….
Mertua perempuanmu memang sungguh terlalu!”
“Itu belum seberapa Mbak, saat
beras kami hamper habis, Mak sama sekali tidak mau tahu, padahal kami bekerja
keras untuknya….”
“Lalu kalian?”
“Aku puasa 3 hari dengan buka
sahur air putih, beras terakhir kuhemat hanya untuk anakku….”
Ah, hati ini terasa ngilu
mendengarnya, aku biasa main buang masakan seenaknya jika sudah sisa kemarin….
Astaghfirullohal’adhiiim….
“Yang paling menyakitkanku,
setiap kali Mak menyuruhku melakukan sesuatu maka dia selalu bilang, hidup itu
tidak ada yang gratis, semuanya ada harganya…. Tapi aku bersyukur Mbak karena
itu semua hanya masa lalu.”
“Kamu tidak menyesal?”
“Apanya yang harus kusesali Mbak?
Alloh sudah menggariskan semua itu terjadi padaku, sebagai hamba aku harus
menerimanya dengan lapang dada. Aku bersyukur karena aku memiliki suami yang
sabar dan bisa diajak berbagi dalam segala hal. Apalagi setelah dia tahu
Mak-nya yang ‘semena – mena’ terhadapku dan anaknya. Dia menjadi pelindung yang
baik buat kami, jadi apanya yang harus kusesali Mbak?
Apanya yang harus kusesali? Satu
pertanyaan yang menancap dalam hatiku. Satu hal yang harus selalu ditanyakan
agar kita selalu memijak bumi dan mampu mensyukuri segenap pemberian Ilahi
Robbi. Satu pelajaran baru kupetik dengan kebersamaannya denganku.
*****
“ Tahu nggak Mbak, waktu aku dan
suamiku memutuskan untuk membuat rumah hanya dengan modal 5 juta, semua
saudaranya mentertawakan kami, mereka bilang mana mungkin hanya dengan 5 juta rumah
kami akan berdiri,” ungkapnya sambil menahan tawa.
“Diremehkan begitu apa yang kamu
lakukan?” tanyaku.
“Bismillahirrohmanirrohiiim,
Gusti Alloh nggak mungkin ‘merem’ Mbak! Aku dan suamiku bermusyawarah dan nekad
berangkat dengan uang itu.”
“Terus?”
“Alhamdulillah Mbak, aku dan
suamiku sepakat, untuk menghemat uang kami harus mencari bahan bangunan yang
tidak mengeluarkan biaya. Kami terjun ke sungai, mengangkut batu – batu kali ke
lahan kami, sampai cukup untuk membuat pondasi.” Terangnya.
“Subhanalloh, terus?” tanyaku
penasaran.
“Setelah kami rasa cukup, maka
kami pun mulai ‘nduduk’ pondasi bersama dengan bantuan beberapa tukang, kami
bisa menghemat biaya banyak sekali.”
“Orang kampung tidak protes?”
“Mereka bahkan berterimakasih
karena batu kali yang kami ambil membuat sungai tempat mereka mencuci baju
semakin luas J”
“Oh, ya?”
“Pondasi selesai, sambil ‘ngebong
boto’ kami terus mencari pasir di sungai hingga kami dapat mengangkut pasir
sungai kurang lebih 2 truk!”
Ck ck ck! Aku membayangkannya
mengangkat pasir berkarung – karung dari sungai menuju rumahnya. Betul – betul perempuan perkasa.
“Karena kami juga membuat batu
bata sendiri, sekali lagi kami menghemat jutaan rupiah.”
“Hmmmhhh….”
“Akhirnya rumah kami berdiri,
saat kami memikirkan cara untuk menyiapkan ‘kuda - kuda’ untuk atap, Bapakku yang petani miskin datang
dengan membawa kayu jati yang bisa kugunakan untuk atap rumah. Alhamdulillah
Mbak, meskipun Bapak orang yang keras, namun beliau masih sangat memperhatikan
anaknya….” Ucapan Anis menggantung.
“Akhirnya selesai juga rumahmu
dan kamu bisa ‘berbangga hati’ karena telah bekerja keras untuk mewujudkannya,
bukan begitu?” ujarku menyimpulkan ceritanya.
Anis tersenyum, senyuman lega
yang membahagiakan siapa pun yang melihatnya. Sekali lagi aku harus malu
padanya dan keteguhannya. Membayangkannya yang hanya lulusan SD namun mempunyai
begitu banyak kecerdasan dan keterampilan hidup yang memukau, subhanalloh!
Anis sungguh bisa bertahan bahkan
membuat segala keterbatasannya menjadi tantangan, dia sangat cerdas
memanfaatkan alam sekitar untuk membantunya mewujudkan mimpi, memiliki rumah
sendiri yang nyaman dan aman untuk ditinggali oleh keluarganya, dan yang pasti
dia ‘terbebas’ dari penguasaan mertuanya terhadap hidup dan kehidupannya.
Sungguh, aku bersyukur karena
rumah kami adalah rumah surge, rumah yang dipenuhi keindahan akan kasih sayang
dan juga tempat kami senantiasa mengingat betapa bersyukurnya kami akan semua
karunia Alloh SWT.