Selasa, 15 Maret 2011

Dongeng adalah sebuah bagian dari cerita ^_^


Dongeng adalah sebuah bagian dari cerita ^_^

Pulang sekolah ada latihan tari di Basecamp IGRA kecamatan Singosari, maka dengan membonceng zakki, saya pun meluncur kesana, disambut sepeda motor bu Qom sementara orangnya tak ada, kata penjaga yang biasa memegang kunci, Bu Qom masih ke pasar. Ya, letak basecamp kami memang dekat dengan pasar singosari.

Bu Khusni muncul dengan Bu Nur, tak lama bu Qib, disusul Bu Qom yang sudah membawa tahu kempos dua kresek  besar, kemudian Bu Ifah dan Bu Ika, maka perhelatan latihan tari “Persembahan Anak” pun dimulai. Tahu tidak kawan – kawan! Salah satu aktivitas yang paling saya takuti dari dulu adalah menari, tapi gandeng jadi guru RA, maka apa pun dilakukan, jadi multi talenta kaya’nya sekarang J.

Ya ya ya, bagaimana kita akan mengajari anak – anak menari kalau kita tak mampu, mampu karena mau, mau karena tak tahu malu! Hahahaha! Astaghfirullohal ‘adhiiim….

Dua kali episode dilalui, kami pun beristirahat, seorang teman nyelutuk, “Bu, apa sih bedanya dongeng sama cerita?”

Hwalah! Itu kan pertanyaan yang sudah lama mengendap di kepala dan belum nemu muara hingga saat ini. 

Diam tercenung. “Ayo, Bu! Terangin ke kita, kita ada tugas bahasa Indonesia buat presentasi besok!”

Jadi ingat “kecelakaan” pertama kali yang membuat saya menjadi “pendongeng” (versi saya sih! Hehehe!)

Saya bukan sarjana bahasa Indonesia, saya adalah sarjana teknologi pertanian yang jatuh cinta pada dunia anak dan akhirnya memutuskan untuk berkecimpung dalam dunia anak dengan segenap pernak perniknya. 

Tahun 2004 tepatnya secara “sadar” mulai berenang di dunia anak – anak dengan berdirinya play group AL-USWAH Singosari, membantu teman dengan daya dan upaya agar generasi Islami terbentuk dengan bagus di masa datang. Berjumpa dengan sesosok perempuan yang “Inspiring” buat saya - Bu Qonita Tajudin -  (maturnuwun Bu atas Inspirasinya), membuat saya “bertekad” untuk mendalami dunia anak meski harus “otodidak”.

Mulailah saya mengelola dua karakter suara andalan saya, jadi saya punya tiga suara saat mengajar, cara cerdas buat saya yang masih setengah buta dengan dunia pra-sekolah. Karena saat melihat anak mulai “meleng” satu suara lain saya keluaarkan hingga anak – anak berkonsentrasi kembali pada saya, hehehe!

Rasa “penasaran” pun mulai menimpa saya, akhirnya saat yang saya tunggu – tunggu tiba, ada lomba dongeng se-jatim yang mengadakan radio RRI Malang menyambut bulan bahasa bekerjasama dengan anak sastra UM (apakah sampai saat ini even itu masih ada? Allohu a’lam J - barangkali ada yang kasih info buat saya, karena sampai saat ini saya ingin sekali ikut even seperti itu, untuk men-”ngangsu kaweruh” dari teman – teman lain, belajar dengan melihat sepertinya hal yang sangat menyenangkan!)

Technical Meeting saya tak dating karena berbarengan dengan acara lain yang most important, saya hanya dapat info, saya tampil tanggal sekian jam sekian siaran langsung! Wuhuiiii….

Maka berangkatlah di hari H, dag dig dug! Pastinyaaaaa….

Melenggang sukses dengan dongeng (menurut saya kala itu) dengan judul “Kalung Mutiara Farah”, ini cerita kiriman teman dari Jakarta namanya Mbak “Auliya Syafril” lewat email duluuuuu…..

Setelah keenam peserta tampil, kami pun digiring ke sebuah ruangan untuk sebuah “evaluasi”, kata kak juri (maaf banget lupa namanya) bilang, “Untuk ekspresi, intonasi, perbedaan karakter suara, gaya bertutur, dan segala macamnya kamu bagus, well done!”

Melayang kali yaaaaa….
“But!”
Tep! Gedebug! Glodhag! Jatuh deh ke bumi!
“Kamu diskualifikasi, karena yang kamu bawakan adalah cerita!” lanjutnya.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’uuuuuun…..

Satu “pelajaran” yang saya dapat saat itu (2004) adalah, cara saya menyampaikan sebuah cerita atau dongeng sudah benar, hanyaaaaaa…. Belum menemukan “Momen” yang tepat!

Tahun 2005 sepulang dari mengejar mimpi yang tak mungkin ter-“raih”, maka saya kembali ke kampong halaman dan memantapkan diri untuk mengenal dunia pra sekolah lewat LPGTKIT Insan Mandiri, maka sekali lagi ada cara “mendongeng” dalam selipan materi pembelajaran, mulailah saya mengembangkan beberapa karakter suara lain, semacam ayam dan binatang lain.

2006 mengabdikan diri di Lembaga tempat pertama kali mengenal pendidikan, RA BAITUL MU’MININ, tempat dimana saya mulai mengenal dunia pra-sekolah, karena menurut pendirinya, “Karena saya-lah, maka RA BAITUL MU’MININ lahir!” – jadi sedikit terbebani untuk mengembangkannya agar “sejajar” dengan TK/RA lain di sekitarnya J.

Mengasah segala kemampuan mulai dengan belajar menggambar (karena gambar saya dari SD sampai SMA paling banter dapat 80, itu pun satu atau dua kali, paling banyak 75! Pas!), ikut lomba gambar seri dapat harapan III di kecamatan, dst dst dst, Alhamdulillah….

Dan berlari-lah waktu dengan cepat sekali hingga tahun 2008, momen yang saya tunggu datang, saya mengikuti babak penyisihan kecamatan untuk lomba dongeng guru RA dalam rangka HAB DEPAG, lolos maju ke Kabupaten, segala daya upaya saya kerahkan, daaaaannn….

Alhamdulillah, apresiatif! Dengan Dongeng “Aku senang Sekolah” diramu lagu dan tepuk serta yel – yel. Saya dapat juara I dan berhak maju ke Propinsi….

Berangkat-lah saya ke propinsi, bagi saya dongeng adalah alat komunikasi dengan anak – anak, menanam sebuah nilai tanpa mereka sadar, merekam sebuah pelajaran tanpa merasa dipaksa, dan sekali lagi saya tertegun.

Pendongeng yang menyabet juara I hingga harapan III adalah mereka yang asyik dengan dongengnya! Bukan saya menyalahkan juri, bukan! Saya hanya perlu mengkoreksi kembali pemahaman saya, berarti ada yang saya missed understand! Kenapa? Saat kita benar – benar praktek mendongeng, maka aka nada banyak celoteh anak yang harus kita perhatikan, dan tanpa merusak cerita harus dialihkan entah dengan tepuk atau lagu yang sesuai dengan tema. Ramuan itu yang sudah berkali – kali saya praktekkan ke anak – anak pra-sekolah (hehehe! Sekali lagi “ala” saya ^_^).

Pelajaran yang saya dapat (2008) adalah, ada banyak pendongeng di luar sana yang luar biasa, tapi saya harus punya “warna” saya sendiri, mulailah “hamil ide” ^_^

Dan ada banyak hal terjadi hingga tahun 2011 ini, ada even dongeng kecamatan yang seorang teman mengompori agar saya ikut lagi, akhirnya saya pun ikut, selesai dengan tampilan saya, “How did the Egg become a chicken!” dimana ada sedikit dialog antara induk ayam dan Dori, maka saya pun harus puas dengan nomor dua.

Kata juri, “Yang saya sesalkan, kenapa Dori harus bicara sama ayam?”
Deg! Ooooo…. Ada yang salah lagi dalam pemahaman saya?

Bukan – bukan nomor berapa-nya yang saya permasalahkan, akan tetapi ada beberapa hal mendasar yang ingin saya ketahui, dan kelak semoga dapat saya kupas lebih lanjut (amiiiin….)

Yang sangat mengganggu adalah :
1.     Apa beda dongeng dengan cerita, karena bagi saya dongeng adalah bagian dari cerita, adakah yang bisa memberikan penjelasan ini? Literasi mana yang harus saya baca?
2.      Apakah dalam dongeng tidak boleh terjadi dialog antara ayam dengan manusia, ikan dengan manusia, atau benda dengan manusia?
3.      Pakem dongeng itu seperti apa sih?

Sepertinya kesimpulan sementara saya masih tetap, karena saya bukan sarjana bahasa, saya hanya bisa bilang dongeng adaalah bagiang dari cerita, kesemuanya adalah seni bertutur yang mencoba member gambaran sebuah peristiwa yang mengandung nilai dan pelajaran di dalamnya, sepakat atau tidak?!






1 komentar:

  1. Nah... ini dia... sekelumit pemikiran yang sama-sama sedang menjamur dalam hal pemikiran kita, bun..!!

    ketika mengikuti lomba apresiasi pendidik se-pekanbaru,hal tersebutlah yang sering diungkap para juri. yakni, ada peserta yang 'mendongeng' dan dalam tokohnya ada manusia dan kera. atau burung dengan tokoh manusia, dsb...

    namun demikian, sy belum juga menemukan pencerahan. dengan adanya tulisan yang bunda muat, jika saat saya mengkomen ini bunda telah mendapat jawabannya, mohon saya dicerahkan, ya....

    terimakasih...

    BalasHapus

ya