Jumat, 04 Februari 2011

Pemuda Pemimpin Masa Depan

Pemuda adalah pemimpin masa depan, kita semua sudah teramat sepakat dengan slogan ini, hanya saja yang seringkali kita lupakan adalah pemuda yang bagaimana? Nah, lho!
Yuk let’s think together…. Pemuda? Masa Depan?
Pemuda? Yang terbetik dalam benak kita adalah sosok anak manusia yang masih berusia antara 20 tahun hingga 40 tahun (benarkah? Ini hanya asumsi penulis saja karena pada usia inilah Muhammad SAW memperoleh kedudukannya sebagai Rosululloh). Berkaca pada sejarah Rosululloh maka akan sangat tepat sekali jika kita katakan beliau adalah sosok pembelajar yang tangguh dalam perjuangan, istiqomah dalam keyakinan, dan penuh dengan cinta serta kesabaran. Bagaimana dengan pribadi pemimpin kita -kelak- di masa depan?
Masa depan? Masa yang tak terbayangkan oleh kita, masa yang penuh dengan ketidakpastian dan juga sudah dapat dipastikan masa depan itu akan datang menghampiri kita, apa yang harus kita siapkan untuk generasi muda sebagai calon pemimpin di masa depan?
Berharap pemuda kita baik, maka sangat tidak mungkin jika produk yang kita buat itu akan maksimal jika diperoleh dengan cara instan. Sangat tidak mungkin, karena ketahanan jiwa, kekuatan mental, dan juga semangat untuk terus berjuang itu adalah hasil pendidikan yang mengejawantah dalam diri kita, dan satu catatan bahwa semua itu memerlukan proses yang cukup lama bahkan sangat lama.
Pemuda yang bisa diharapkan kelak menjadi pemimpin adalah sosok pribadi pembelajar, manusia dengan talenta dan kesadaran penuh untuk selalu “belajar” dalam berbagai situasi dan kondisi yang melingkupinya, kenapa? Karena tak semua orang senang dengan kata belajar, bahkan banyak yang menutup telinga karena rasa ‘takut’ untuk berjumpa dengan hal – hal baru, yang terbayangkan di benak kita adalah belajar itu duduk diam dan berkonsentrasi tinggi terhadap suatu obyek, tenggelam bersamanya, dan paling ekstrim “mati” bersamanya. Na’udzubillah!
Belajar tak selamanya menyenangkan, ‘kejenuhan’ akan seringkali menyerang siapa pun pembelajar itu, maka sangat diperlukan ketrampilan – ketrampilan khusus untuk meredakan kejenuhan yang terjadi. Nilai ‘jenuh’ akan menduduki angka tertinggi untuk setiap asumsi pembelajar dibandingkan dengan yang ‘menikmati’ proses pembelajaran yang mereka jalani, maka satu pertanyaan tersembul, apakah ada yang salah dengan gaya belajar kita selama ini? Atau paling ekstrim sistem pembelajaran yang kita punya? Nah lho!
Madden (2002) dalam bukunya FIRE UP YOUR LEARNING menyatakan bahwa emosi yang dihasilkan dalam sistem limbic memperkuat memori jangka panjang. Oleh karena itu faktor emosional dapat digunakan dengan memanfaatkan emosi – emosi positif untuk meningkatkan proses belajar. Dimana emosi – emosi positif tersebut dapat diaktifkan lewat penggunaan drama, antusiasme, kontroversi kreatif, dan proyek – proyek tim.
Mencermati pernyataan di atas sangatlah tepat jika kita menyitir sebuah ayat Al-Qur’an surat As-Syams : 9 - 10

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Adapun hubungannnya dengan proses pembelajaran adalah jiwa yang tenang dengan emosional yang stabil dan bahkan mantap akan membuat proses belajar terasa lebih menyenangkan. Sementara jika emosional kita tidak stabil, jiwa kita kotor maka akan sulit untuk menyerap pengetahuan baru.
Mari kita kembali kepada sejarah manusia agung Rosululloh SAW. Bagaimana beliau menjadi luar biasa karena proses pembelajaran yang diberikan oleh Alloh SWT kepada beliau juga luar biasa. Semoga dengan mengupas sedikit hikmah dari sejarah membuat kita kian cepat berlari dan senantiasa memperbaiki diri dengan niatan – niatan kita.
Semenjak bayi beliau sudah tak berayah, dan di masa kanak – kanak beliau harus kehilangan figur orang – orang yang dicintainya, bunda dan kakek yang menjadi pelindung buatnya, bukankah jika kita melihat hal ini dengan kacamata awam kita akan mengklaim adanya pribadi yang traumatis jika tidak tertangani dengan benar? Subhanalloh, memang hanya Alloh-lah yang menggenggam setiap jiwa.
Anugerah Alloh yang luar biasa adalah saat beliau berkhalwat di gua hiro’ dan mendapatkan wahyu untuk pertama kalinya pada malam 17 Ramadhan yang berbunyi

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[+],
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
[+] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Dalam banyak versi cerita, saat Jibril mengumandangkan Iqro’ Rosululloh ketakutan dan menolak, “Aku tidak bisa membaca!” teriak beliau, namun Jibril terus saja memaksa beliau hingga akhirnya beliau mengikuti dan menirukan kalam Alloh yang dikumandangkan Jibril untuk beliau.
Dan pada akhirnya pengetahuan mutakhir mengakuinya kalau saja belajar itu tak sekedar membaca buku dan menulis, namun juga membaca alam dan gejala – gejalanya, membaca manusia dengan berbagai karakternya, dan juga membaca kalamnya yang penuh hikmah.
Rosululloh adalah pembelajar ulung, pada usianya yang masih menyusui, beliau belajar ‘jauh’ dari orangtua untuk memperoleh lingkungan tumbuh yang baik di lingkungan bani Sa’ad. Tumbuh di lingkungan pedesaan yang tak terkontaminasi polusi budaya yang luar biasa kotornya saat itu, dalam penjagaan Halimatus Sa’diyah itu-lah beliau belajar dengan “REAL” bagaimana bertahan hidup di desa, dan juga bagaimana menggembalakan kambing.
Saat beliau kembali kepada ibundanya, beliau belajar tentang kebudayaan kaumnya yang mulia namun telah terkotori oleh nafsu angkara. Bunda terkasih pun tiada, beliau harus belajar menghadapi ‘kepahitan’ kehilangan orang yang dikasihi dan mengasihinya.
Berpindahlah asuhan Rosululloh kepada kakeknya Abdul Muttalib, namun sang kakek tak juga lama menemaninya, Abdul Muttalib pun kembali ke haribaanNYA. Asuhan Rosululloh pun berpindah ke tangan pamannya yang memiliki akhlak terbaik diantara keluarganya yakni Abu Thalib.
Bersama dengan Abu Thalib, Rosululloh dalam usianya yang ke sembilan tahun telah menempuh perjalanan jauh ke syam untuk mengikuti pamannya berdagang. Perjalanan yang menyenangkan dan penuh dengan ‘realitas’ mengejutkan, namun pribadi unggul yang dimilikinya semakin tampak cemerlang saja, hal itu terbukti dengan semakin banyak pelanggan yang mencarinya karena keluhuran budi pekerti yang dimilikinya.
Rosululloh menikah pada usia yang cukup matang, 25 tahun, menikah dengan janda bangsawan bernama Siti Khodijah yang telah menjadi rekanan bisnisnya selama beberapa waktu.
Hingga tiba-lah wahyu pertama yang disampaikan Jibril kepadanya, disusul dengan Al-Mudatsir yang menceritakan bagaimana Rosululloh ketakutan melihat Jibril dan berusaha bersembunyi darinya, lantas apa hubungannya dengan kita saat ini? Tentu saja ada banyak dan luar biasa! Amin Insyaalloh!
Apakah yang bisa kita petik dari sekelumit kisah tersebut? Setiap orang pada awalnya harus mampu menyelesaikan permasalahannya dengan perasaan – perasaannya sendiri agar mampu menjadi pembelajar handal. Dalam banyak kasus dapat kita lihat ada banyak pemuda yang memiliki potensi besar, namun masalah mereka adalah tak mampu mengeksplorasi diri mereka karena sebuah ‘batas’ yang dengan sengaja mereka ciptakan, dan batas itu ada dalam diri mereka, asumsi – asumsi negatif yang senantiasa berkembang dan pada akhirnya membunuh keberanian untuk ‘mencoba’.
Apabila masalah dengan perasaaan selesai, maka ketakutan pun akan menghilang tertiup angin lalu, nah saat itu-lah kita siap untuk diisi dengan berbagai pengetahuan untuk melanjutkan hidup dengan kondisi yang lebih baik lagi.
Kebutuhan lain yang harus diperhatikan adalah dorongan serta dukungan yang luar dari orang – orang dekat untuk selalu mengarahkan anak pada hal – hal positif yang memberikan manfaat untuknya. Sebuah buku yang berjudul AKSELERASI INTELEGENSI (Mengoptimalkan IQ, EQ, dan SQ secara Islami) menyatakan bahwa cinta adalah sumber akselerasi. Cinta orangtua bisa memberikan dorongan yang kuat bagi anak – anaknya untuk belajar dan menjadi orang cerdas. Dan cinta itu sendiri sangat layak menjadi landasan pembelajaran bagi orangtua kepada anak – anaknya. Orangtua tidak hanya mendorong anaknya untuk belajar, namun orangtua menjadikan diri mereka Guru, teladan yang langsung bisa dianut oleh anak – anaknya. Guru pertama yang mengajari anak tentang segala sesuatu yang ada di dunia, dan itu berlandaskan cinta.
Ayat – ayat Alloh adalah sumber pembelajaran. Ayat – ayat Alloh ada dua macam yaitu ayat – ayat Qouliyah yang berupa ayat – ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an, dan ayat – ayat Kauniyah yang berupa alam semesta atau makhluk secara keseluruhan. Keduanya mempunyai fungsi pokok yang sama yakni menjadi ‘tanda – tanda’ keberadaan dan kekuasaan Alloh. Di sisi lain bisa juga merupakan sarana pembelajaran yang paling efektif bagi manusia dalam rangka mencapai kedewasaan dan kematangan bagi pikiran dan ruhaninya.
Ada banyak buku yang membahas tips dan trik untuk mengoptimalkan daya pikir kita agar menjadi pembelajar yang hebat, dan semuanya memberikan cara – cara yang luar biasa.
Ternyata setelah dikaji lebih lanjut maka yang paling ‘penting’ di antara yang terpenting adalah ‘kestabilan emosi’ saat berhadapan dengan hal baru dalam situasi dan kondisi tak terduga.
Jika mau sedikit berfikir, agaknya inilah kenapa Alloh SWT menyuruh kita sholat, kita harus sholat Dhuhur di tengah – tengahnya jam sibuk yang berarti gesekan emosional dengan orang lain lebih banyak dan pasti akan mengganggu kestabilan emosi kita, dengan sholat hati kembali sejuk dan kita bisa berhadapan dengan orang lain dengan warna yang lebih cerah.
Saat penat mendera setelah kerja, kita dipanggil untuk menunaikan sholat Ashar untuk menghapus kepenatan kita dengan menjumpaiNYA, pulang sampai di rumah, bersama – sama dengan keluarga berjama’ah maghrib, menghilangkan kepenatan dan mengisi dengan nuansa cinta dalam kebersamaan.
Saat menjelang tidur kita pun harus kembali menjumpaiNYA agar perasaan nyaman-lah yang tercipta saat kita menekuri malam dalam impian kita. Subhanalloh!
Ketika kita bangun, Alloh kembali memanggil kita untuk menunaikan Sholat Subuh, suatu bekal ruhani yang luar biasa untuk menghadapi tantangan dalam keseharian. Subhanalloh!
Dan itu semua takkan didapat dalam satu jam, satu malam, satu minggu, ataupun satu bulan, kesemuanya itu hanya bisa didapat dalam proses pembiasaan yang lama dan berkesinambungan, ternyata sekali lagi, keistiqomahan itu sangat diperlukan.
Selain keistiqomahan, maka kepiawaian kita untuk senantiasa mampu menghadirkan ‘ruh’ dalam setiap proses pembelajaran yang kita lakukan, dengan demikian insyaalloh kita adalah pembelajar yang handal. Satu hal lagi yang melengkapi semua itu, kesabaran dan kasih sayang .
Rosululloh adalah suri tauladan terbaik yang kita miliki, dalam sebuah oase disebutkan bagaimana sikap beliau saat bertemu dengan Hasan dan Husain di jalan sewaktu beliau akan bersilaturahmi kepada salah seorang sahabat. Dalam cerita itu Rosululloh merentangkan tangannya sambil memanggil – manggil kedua cucunya, beliau juga tak segan untuk mencium mereka sampai suatu ketika ada sahabat yang bertanya bagaimana mungkin Rosululloh mencium mereka sementara ia yang telah memiliki banyak anak tak sekalipun pernah mencium mereka, maka Rosululloh pun bersabda, “berikan hak mereka, pulanglah dan cium anak – anakmu sebagaimana yang kulakukan pada cucu – cucuku.”.
Luar biasa bukan? Apa hikmah yang bisa kita ambil? Jika seorang manusia semulia Rosululloh saja melakukan hal itu untuk menumbuhkan rasa aman dan juga membangun kenyamanan dalam berinteraksi dengan kedua cucunya, bagaimanakah potret pemimpin kita di masa depan?
Coba kita tengok apa yang terjadi pada saat Rosululloh menjadi imam sholat bagi sahabat – sahabatnya, beliau sujud begitu lama sehingga para sahabat menyangka kalau – kalau saja Rosululloh mendapatkan wahyu, namun apa yang sesungguhnya terjadi? Sujud yang lama itu terjadi karena Hasan dan Husain tengah menaiki punggungnya, saat hal itu diprotes oleh seorang sahabat apa jawab beliau, “Aku sujud lama untuk membiarkan mereka menyelesaikan hajatnya....”
Kalau begitu ayo kita simpulkan kira – kira pemuda seperti apa yang kita inginkan memimpin kita di masa depan?
1. Sosok pembelajar yang tangguh,
2. Kematangan emosi yang teruji,
3. Keistiqomahan yang terjaga,
4. Kepiawaian untuk senantiasa mampu menghadirkan ‘ruh’ dalam setiap keputusan yang diambil dan dilaksanakan,
5. Kesabaran dan kasih sayang yang selalu melambari setiap keputusannya.
Kita adalah pemuda, berarti kita adalah calon pemmpin masa depan, maka satu pertanyaan yang patut kita fikirkan jawabannya, sudahkah semua kriteria itu ada dalam diri kita?

1 komentar:

ya